Wikipedia

Search results

Saturday 8 November 2014

Prediksi Ekonomi Global 2015 [Bloomberg Version]


Peta di atas merupakan gambaran prediksi terbaru IMF tentang kondisi ekonomi dunia tahun mendatang, dengan poin-poin penting sebagai berikut:

  • Amerika Latin akan dipenuhi dengan kondisi pesimistik, dengan Argentina dan Venezuela menjadi pemimpin kondisi ini dan disusul oleh Brazil tidak jauh di belakangnya.
  • Rusia dan Eropa Barat melemah.
  • Amerika Utara terlihat akan cenderung menguat dari kondisi sebelumnya
  • Pertumbuhan terbesar akan terjadi di Asia Selatan dan Timur, dan juga beberapa negara di Afrika yang mulai tumbuh juga dari level bawahnya.


Patut dicatat bahwa butuh waktu lebih lama bagi ekonomi dunia secara agregat untuk bangkit dari bubble hutangnya selama satu dekade ini. Tiga tahun yang lalu, IMF memperkirakan ekonomi dunia akan pulih sepenuhnya tahun 2015 dengan angka pertumbuhan 4,8 persen. IMF menyatakan bahwa meskipun USA sudah mencapai ekspektasinya (yang diturunkan), BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China) beserta negara-negara Timur Tengah, Eropa, dan Jepang dinilai mengecewakan.

Hal itu membuat IMF harus menurunkan prediksi pertumbuhan 2015 nanti ke level 3,2 persen. IMF memproyeksikan pertumbuhan 3,1 persen untuk USA, 1,3 persen untuk benua Eropa, dan 0,8 persen untuk Jepang. China diproyeksikan tumbuh 7,1 persen dan itu lebih tinggi daripada negara-negara lain (meskipun itu adalah pertumbuhan terendahnya dalam 15 tahun terakhir. China dianggap tidak siap untuk perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh kemungkinan default para pengembang properti jika level ekspansi yang terealisasi berada dibawa ekspektasi mereka.

Perbedaan tingkat pertumbuhan di antara empat roda ekonomi besar dunia (USA, China, Jepang dan Eropa) untuk tahun depan dirasa tidak bagus; sementara kita membutuhkan keempatnya untuk berjalan lancar agar pemulihan ekonomi dunia juga bisa lebih cepat tercapai.

Ketidakcocokan berkepanjangan di antara para pembuat keputusan makroekonomi juga patut dinanti di tahun 2015. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa akhir Oktober lalu, Federal Reserve mengumumkan akhir babak ketiga dari aksi belanja obligasinya, dan dua hari setelahnya, Bank of Japan (BOJ) menyatakan untuk memperpanjang aksi belanja obligasinya; Quantitative Easing (QE).

QE pada dasarnya didesain untuk mendorong harga pasar obligasi. Ketika harga naik, yield-nya akan turun, dan membuat tingkat bunga mortgage dan bentuk pinjaman lainnya yang penting untuk konsumsi dan bisnis juga akan turun. Tahun depan, Bank Sentral Eropa kemungkinan akan memulai QE-nya meskipun kebijakan tersebut mendapat penolakan dari Bundesbank (Jerman).


Perdebatan tentang sistem pajak dan belanja negara mungkin akan bertambah hangat tahun depat, khususnya di zona Eropa. Prancis dan Italia bersaing dengan Jerman dalam hal seberapa besar defisit budget yang mereka mungkin akan alami. Komisi Eropa di Brussels telah mengizinkan Prancis dan Italia untuk mempertahankan kinerja defisit mereka di bulan Oktober, namun tetap memperingatkan semua negara eropa akan diperiksa secara mendalam pada pertengahan November ini. Sementara itu, desakan Jerman untuk melakukan penghematan membuat negara-negara di Eropa kesulitan memicu pertumbuhan ekonominya.

Beberapa hal tentang 2015 nanti telah diketahui sejak lama, misalnya isu pemanasan global. Lalu masih ada beberapa hal yang meresahkan, seperti: Akankah perselisihan yang disebabkan oleh Rusia dan China dengan negara-negara tetangga mereka akan menjadi konflik bersenjata? Akankah fenomena penyakit Ebola akan menyebar dalam skala global? Akankah China memadamkan pergerakan demokrasi di Hong Kong? Akankah pemilihan umum di Inggris bulan Mei kelak meningkatkan desakan UK untuk berpisah dari Uni Eropa? Akankah konflik Timur Tengah mereda? Salah satu dari semua itu mempunyai kemungkinan untuk membuat tahun 2015 sebagai tahun yang penuh dengan kecemasan.



Namun, ada kabar gembira untuk Amerika Serikat, dimana pengeboran horizontal mereka masih melanjutkan trennya yang terus melebihi ekspektasi, meningkatkan produksi minyak bumi lebih dari 50% hanya selama empat tahun. Di samping berperan menekan tingkat defisit perdagangan Amerika Serikat dan mengangkat perekonomian di Texas, North Dakota, dan kota-kota penghasil minyak lainnya, minyak dan gas bumi juga mendorong sektor konsumsi dan manufaktur. "Amerika Serikat kelak akan memiliki sumber energi termurah di seluruh dunia," terang Keith Nosbusch, CEO Rockwell Automation. Sebagai tambahan, menurunnya harga minyak dunia telah mengurangi kekuatan negara-negara seperti Russia dan Iran; Iran sendiri mengalami defisit neraca ketika harga minyak Brent berada di bawah $138 barel.


Untuk perekonomian Amerika Serikat, ketidakpastian yang paling penting adalah, apakah pada tahun 2015 nanti Federal Reserve akan mulai menaikkan tingkat suku bunganya, yang masih belum beranjak dari rentang nol sampai dengan 0,25 % sejak akhir 2008. Tingkat pengangguran sebesar 5,9 % pada bulan September bisa tetap serendah itu tanpa menghasilkan kenaikan upah yang membahayakan. Sementara itu, para spekulan di pasar futures sepakat berpendapat bahwa tingkat suku bunga kredit akan hanya mencapat 0,5 % tahun depan. 


Kenaikan suku bunga tersebut, entah kapan hal itu akan terjadi, dapat mempengaruhi pertumbuhan, inflasi, dan nilai tukar di seluruh dunia. Ceteris paribus, tingkat suku bunga yang lebih tinggi di Amerika Serikat cenderung akan menarik lebih banyak investasi di negara tersebut, mendorong nilai tukar dolar terhadap mata uang negara-negara lain. Walaupun dengan tren rebound, pada saat ini dolar masih relatif lebih murah daripada satu dekade yang lalu. 

Jika tingkat suku bunga Amerika Serikat naik, negara-negara seperti India dan Brazil yang sedang berkutat dengan inflasi tingginya akan terpaksa menaikkan tingkat suku bunganya juga untuk menjaga nilai tukar mata uangnya tetap kuat dan menghindari lonjakan harga impornya. 

Di sisi lain, Eropa dan Jepang, yang tidak memiliki ketakutan akan inflasi, akan lebih dapat menerima pelemahan mata uangnya, yang justru akan memacu ekspor dan pertumbuhan ekonominya. “Mendevaluasi (mata uang) adalah mekanisme untuk melenyapkan deflasi,” terang Stephen King, chief global economist di HSBC London. 

Di zona Eropa sendiri, kungkungan mata uang tunggalnya sendiri bekerja seperti yang pernah terjadi pada masa-masa Great Depression: mencegah perekonomian yang lebih lemah, seperti Yunani dan Portugal untuk mendepresiasi nilai mata uangnya, dimana hal tersebut dapat menjadi solusi tercepat untuk negara yang memiliki biaya tenaga kerja yang tinggi untuk mendorong ekspornya dan memacu perekonomiannya.

Di sisi lain, perekonomian Jepang akan mengalami pukulan berat karena kenaikan pajak konsumsi pada musim semi mendatang. Kenaikan kedua dijadwalkan akan dilakukan pada tahun 2015, namun PM Shinzo Abe mungkin akan mencoba menundanya jika perekonomian masih tetap lemah. “Masyarakat Jepang mencoba segala cara yang bisa mereka lakukan untuk menyelesaikan masalah deflasi mereka,” jelas David Morton, dari Rocaton Investment Advisors.


China juga menderita masalah deflasi. Harga grosir terus menurun setiap bulannya semenjak April 2012. Walaupun President Xi Jinping telah berjanji untuk mengangkat pertumbuhan berbasis konsumsi dalam negeri, dimana kebijakan tersebut akan menaikkan standar hidup mereka, usahanya tersebut mengalami kegagalan. Menurut data dari World Bank, investasi di bidang bisnis mencakup 49 % dari total GDP China tahun lalu; meningkat dari angka 35% di tahun 2000. Investasi tersebut banyak untuk pembangunan pabrik-pabrik dan peralatan-mesin, berujung pada kapasitas produksi yang berlebihan sehingga penurunan harga yang berlebihan justru melemahkan profitabilitas. 

China adalah salah satu negara pengimpor bahan mentah terbesar, maka perlambatan di tahun 2015 juga akan berdampak negatif pada negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang kaya di Asia, Amerika Latin, and Afrika. Pemerintah China sendiri akan mencoba menolong beberapa sektor penting seperti sektor pertanian dan SME (Usaha Kecil dan Menengah), namun tekanan pada perekonomian China dipandang terlalu kuat untuk bisa diatasi hanya dengan sedikit penyesuaian kebijakan pemerintah.
(source: http://www.businessweek.com/articles/2014-11-06/2015-global-economic-outlook-better-than-2014-but-not-by-much#r=nav-r-story)

No comments:

Post a Comment