Secara gampang, saham adalah satu
bagian dari bukti kepemilikan sebuah perusahaan. Saham merupakan
sebuah klaim/hak atas aset dan pendapatan yang dimiliki oleh perusahaan. Semakin
banyak saham yang kita miliki, bagian kepemilikan kita atas perusahaan tersebut
semakin besar. FYI, istilah ekuitas juga bisa saja disamaartikan dengan saham.
Memiliki saham dari sebuah
perusahaan artinya adalah bahwa kita adalah salah satu dari sekian banyak
pemilik perusahaan tersebut—pemilik saham sering disebut shareholders di beberapa laporan keuangan perusahaan—dan, dengan
demikian, kita mempunyai hak atas semua yang dimiliki perusahaan tersebut.
Namun demikian, biasanya, para investor awam yang memiliki modal rendah hanya
bisa memiliki bagian amat kecil dari kepemilikan tersebut.
Dengan kata lain, kita adalah pemilik dari sebagian kecil mebel kayu
yang diproduksi oleh perusahaan mebel. Kita adalah pemilik dari sebagian kecil
merek Indomie jika kita membeli saham Indofood. Kita adalah pemilik dari sebagian
kecil nilai proyek pembangunan jalan tol Semarang-Solo jika kita membeli saham
Jasa Marga. Sebagai seorang pemilik, kita berhak atas bagian
keuntungan perusahaan dan juga hak voting sesuai dengan besarnya kepemilikan
saham kita.
Satu saham biasanya diwujudkan dalam
satu sertifikat kepemilikan saham. Selembar kertas yang kelihatan keren ini
adalah bukti kepemilikan kita. Namun, di zaman komputer seperti sekarang ini, kita
tidak akan repot-repot untuk melihat dan menyimpan dokumen ini, karena
broker/sekuritas kita yang akan mencatat dokumentasi ini secara elektronik, yang juga dikenal dengan istilah "in street name".
Tentu saja, jika kita bersikeras
ingin memiliki dokumen tersebut, maka kita bisa mencoba membeli saham dari
perusahaan yang tidak tercatat dalam bursa saham Indonesia. Namun, biasanya
yang bisa memiliki saham perusahaan semacam itu adalah para karyawan yang
diberikan insentif berupa employee stock option1) oleh
perusahaan tersebut.
Pencatatan secara elektronik
tersebut dilakukan untuk membuat saham-saham tersebut menjadi lebih mudah untuk
diperjualbelikan. Dulu, ketika seseorang ingin menjual sahamnya, dia harus
membawa sertifikat tersebut secara langsung ke broker/sekuritas nya. Kini,
berdagang dengan satu kali klik dari komputer/laptop atau melalui telepon
membawa kemudahan bagi semuanya.
Menjadi pemilik dari sebuah
perusahaan terbuka tidak berarti bahwa kita mempunyai kuasa untuk mengatur
aktivitas bisnis / operasional harian perusahaan tersebut. Pada dasarnya, satu
vote per lembar saham untuk memilih jajaran direksi pada saat rapat umum
pemegang saham tahunan adalah yang akan kita miliki.
Misalnya saja, menjadi pemegang
selembar saham Bakrie Plantation Tbk. (UNSP) tidak berarti bahwa kita bisa
menelepon Aburizal Bakrie dan memberitahunya bagaimana seharusnya dia mengurus
perusahaannya. Sama halnya dengan menjadi pemegang selembar saham Indofood
Sukses Makmur Tbk. (INDF) bukan berarti
bahwa kita bisa datang ke pabrik dan membawa pulang selusin kardus berisi
Indomie seenaknya saja.
Pihak manajemen perusahaan memiliki
kewajiban untuk meningkatkan nilai perusahaan untuk kepentingan para pemegang
saham. Jika hal itu tidak terjadi, para pemegang saham bisa menggunakan
vote-nya untuk meminta pergantian manajemen, itulah teorinya. Dalam kenyataannya,
investor kecil seperti kalian dan saya tidak punya cukup banyak saham untuk
bisa mempengaruhi perusahaan tersebut. Para pemain besar seperti institutional investor2) dan
para miliuner yang terkenal itulah yang punya cukup kuasa untuk menentukan
kebijakan.
Untuk para pemegang saham biasa,
ketidakmampuan untuk mempengaruhi sebuah perusahaan bukanlah masalah yang
besar. Karena pada dasarnya, kita tidak ingin harus bekerja untuk mendapatkan
uang, kan? Pentingnya menjadi pemilik saham adalah bahwa kita memiliki bagian
dari keuntungan bisnis dan aset dari perusahaan tersebut.
Keuntungan bisnis sering kali dibagikan dalam bentuk dividen. Semakin banyak jumlah saham
yang kita miliki, semakin besar porsi keuntungan dalam bentuk dividen yang akan
kita terima. Hak kita atas aset hanya akan relevan jika perusahaan tersebut
dinyatakan bangkrut3).
Dalam kasus
likuidasi, kita akan menerima apa yang tersisa setelah semua hak kreditur telah
didistribusikan.
Esensi dari kepemilikan saham adalah hak kita atas
aset dan keuntungan bisnis perusahaan. Tanpa adanya dua hak tersebut, saham
tidak akan lebih berharga dari sekedar kertas biasa yang dicetak bagus.
Satu lagi ciri khas kepemilikan saham adalah tanggung jawab kita yang dibatasi. Artinya, kita tidak akan dimintai pertanggung jawaban jika perusahaan yang kalian beli sahamnya tidak dapat membayar hutang-hutangnya. Perusahaan dengan bentuk lain, misalnya partnership, dibentuk sedemikian rupa sehingga, jika perusahaan bangkrut maka para kreditor akan meminta para partner (pemegang kepemilikan) dan menjual harta bendanya (rumah, mobil, perlengkapan rumah tangga, dan lain-lain).
Lain halnya
dengan jika kita memiliki saham, maka jumlah maksimal uang yang bisa hilang
dari dompet kita adalah total uang yang kita keluarkan khusus untuk
berinvestasi. Jadi, kalau pun perusahaan tempat kita menginvestasikan
uang mengalami kebangkrutan, kita tidak akan ikut bertanggung jawab atas
kebangkrutannya (baca: tidak akan dipaksa kehilangan barang-barang berharga
pribadi kalian)
Utang vs. Ekuitas
Utang vs. Ekuitas
Mengapa
sebuah perusahaan menerbitkan saham? Mengapa para pendiri perusahaan rela
berbagi keuntungan dengan ratusan atau bahkan ribuan orang yang tidak dikenal,
sementara mereka bisa saja menyimpan semuanya untuk dirinya sendiri?
Alasannya
adalah, bahwa setiap perusahaan pada akhirnya nanti membutuhkan dana lebih
untuk melakukan ekspansi atau menjalankan sebuah rencana/proyek yang ingin
mereka lakukan. Untuk mendapatkan dana, perusahaan bisa memilih salah satu dari
kedua opsi ini: meminjam kepada seseorang, atau menjual bagian kepemilikan dari
perusahaan itu sendiri (yang kita kenal dengan penerbitan saham)
Sebuah
perusahaan dapat meminjam dana dengan dua cara: berhutang pada bank atau
menerbitkan surat hutang/obligasi untuk kemudian dapat dibeli oleh publik. Dua cara ini dikenal dengan istilah Debt Financing (pendanaan dengan
hutang). Di sisi lain, menerbitkan saham dikenal dengan istilah Equity Financing (pendanaan dengan
ekuitas).
Ada satu hal
yang patut diperhatikan bersama, yaitu tentang keuntungan yang dimiliki
perusahaan jika mereka melakukan Equity
Financing: mereka tidak akan berkewajiban untuk membayar kembali uang yang
telah kita investasikan pada mereka. Kita juga tidak akan mendapatkan semacam
pembayaran bunga dari mereka, seperti yang kita alami jika kita menabung di
bank.
Para
pemegang saham pada umumnya hanya bisa berharap bahwa harga saham yang mereka
miliki akan menjadi lebih tinggi daripada harga pada saat mereka membelinya.
Peristiwa dimana perusahaan privat/tertutup untuk pertama kalinya menerbitkan
dan menjual sahamnya ke publik, dan akhirnya menjadi perusahaan terbuka,
disebut dengan Initial Public Offering
(IPO). Topik ini akan dibahas lebih lanjut
pada kesempatan yang lain.
Pemahaman tentang perbedaan antara pendanaan melalui hutang dan ekuitas/saham adalah sangat penting. Ketika kita membeli surat hutang/obligasi sebuah perusahaan, mereka berjanji akan mengembalikan seluruh uang kita dan ditambah dengan bunga yang sudah ditetapkan dalam kontraknya. Hal seperti ini tidak berlaku jika kita membeli saham, seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Risiko
Dengan
menjadi seorang pemilik, kita dianggap sudah ikut menanggung risiko bahwa bisa
saja perusahaan tersebut tidak akan sukses. Para pemegang saham bisa saja
menerima pendapatan yang lebih besar dari para pemegang surat hutang jika
perusahaan sukses, namun mereka juga harus sadar bahwa mereka akan kehilangan
semua investasi mereka jika perusahaan tidak sukses.
Satu hal
lagi, sebagai salah seorang pemilik, tingkat klaim kita atas aset-aset
perusahaan dianggap lebih rendah daripada para kreditor. Artinya, jika
perusahaan bangkrut dan terlikuidasi, kita sebagai salah satu pemegang saham
tidak akan menerima bagian aset yang menjadi hak kita sebelum hak para pemegang
surat hutang dan atau bank yang memberikan hutang telah terbayarkan. Hal ini
disebut dengan istilah Absolute Priority.
Dividen vs Capital Gain
Hal yang
sering dilupakan, tidak disadari, atau bahkan tidak pernah ditekankan dengan
jelas adalah bahwa tidak ada yang namanya jaminan ‘PASTI UNTUNG’ jika berbicara
tentang investasi saham. Meraih keuntungan berinvestasi di pasar saham bisa
dibagi menjadi dua cara: dividen dan capital
gain.
Beberapa
perusahaan membagikan dividen secara teratur, entah setiap tahun atau setiap
setengah tahun sekali. Namun, banyak perusahaan yang terdaftar di pasar saham
juga bisa memilih untuk tidak membagikan dividen secara teratur, atau bahkan
belum pernah sama sekali. Hal itu disebabkan karena sebuah prinsip bahwa tidak
ada kewajiban bagi perusahaan untuk membayar dividen. Prinsip tersebut
sebetulnya juga berlaku untuk perusahaan-perusahaan yang selama ini rutin
membagikan dividen.
Dengan
adanya risiko dari penghasilan yang bersumber dari dividen tersebut, para
pemegang saham masih bisa mendapatkan penghasilan dari realisasi capital gain. Artinya, kita menjual
saham kita pada harga di atas harga pembelian kita; hal ini juga berlaku jika
kita melakukan perdagangan barang di pasar riil, kan? Namun, jika kita menjual
saham kita di bawah harga pembelian saham kita, maka yang terjadi adalah kita
mendapatkan capital loss.
Meskipun risiko
yang ada pada dua jenis penghasilan tersebut terdengar negatif, ada sisi lain
yang lebih positif. Mengambil risiko yang besar biasanya berujung pada
penghasilan kembali yang besar. Inilah salah satu prinsip yang membuat kinerja
pasar saham dalam menghasilkan pendapatan lebih baik/besar dibandingkan investasi
pada surat hutang atau akun tabungan biasa di bank.
Misalkan
saja, untuk periode tahun 2005-2013, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Indonesia mengalami rata-rata kenaikan nilai sebesar 25% per tahunnya. Meskipun
setiap tahunnya tidak selalu ditandai dengan perubahan nilai yang positif, pada
dasarnya saham adalah salah satu pilihan terbaik untuk berinvestasi di
Indonesia dalam jangka panjang.
Keterangan:
1) Employee stock option = sebuah hak (bukan kewajiban/keharusan) yang diberikan perusahaan kepada para karyawannya, untuk membeli sejumlah saham perusahaan itu sendiri pada harga yang telah ditentukan sebelumnya. Tidak seperti saham pada umumnya, karyawan tidak bisa begitu saja membeli saham perusahaan kapan pun dia mau. Dia harus menunggu sampai waktu yang telah ditentukan.
2) Institutional investor = lembaga atau pihak perseorangan bukan bank yang memperdagangkan saham dalam jumlah lembar saham atau uang yang besar, sehingga mereka memenuhi syarat untuk mendapatkan perlakuan khusus maupun kewajiban membayar komisi yang rendah. Mereka mendapatkan lebih sedikit perlindungan hukum karena mereka dianggap lebih memahami pasar saham dan lebih bisa melindungi diri mereka sendiri ketimbang investor kecil.
3) Bangkrut = proses hukum yang
melibatkan orang atau perusahaan yang tidak mampu membayar hutangnya. Proses
kebangkrutan dimulai dengan permohonan yang diajukan oleh para debitur (orang/pihak
yang berhutang) atau atas nama kreditur (orang/pihak yang memberikan hutang).
Seluruh aset debitur akan diukur dan dievaluasi, dimana aset tersebut kelak
akan digunakan untuk membayar sebagian/seluruh hutang.