Wikipedia

Search results

Sunday 11 January 2015

Kejatuhan Harga Minyak Dunia: Siapa Yang Akan Bertahan?

Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa harga minyak dunia menurun secara drastis selama tujuh bulan terakhir ini, dan hal itu menyebabkan penurunan pendapatan yang signifikan bagi negara-negara peng-ekspor minyak. Sementara itu, negara-negara yang cenderung berperan sebagai 'pelanggan' mereka mengambil keuntungan dengan membayar lebih rendah daripada sebelumnya untuk bisa menghangatkan rumah-rumah mereka atau berkendara dengan mobil/motor kesayangan mereka.

Sejak tahun 2010 sampai dengan pertengahan 2014, harga minyak dunia cenderung stabil pada titik $110 per barel. Namun, semenjak Juni 2014, harga tersebut harga tersebut mulai terpangkas sampai setengahnya. Minyak mentah Brent sekarang berada di bawah $50 per barel untuk pertama kalinya semenjak Mei 2009, begitu juga dengan harga minyak mentah Amerika.

Alasan logis yang dapat menjadi dasar dari semua ini--di samping teori-teori konspirasi yang dilandasi kepentinagn politis yang banyak tersebar di jagad dunia maya--adalah (1) lemahnya permintaan di banyak negara karena perlambatan pertumbuhan ekonomi mereka, dan (2) produksi minyak Amerika yang melonjak naik. Sebagai tambahan, fakta bahwa OPEC berkomitmen untuk tidak memotong jumlah produksi mereka semakin menekan harga minyak untuk turun.

Jadi, pertanyaannya sekarang, siapa yang akan menang dan kalah dalam situasi seperti ini?

***

Rusia: Menopang Mata Uang Rubel



Rusia adalah salah satu negara produsen minyak terbesar di dunia, dan kenaikan dramatis bunga bank-nya ke level 17% untuk menopang mata uang Rubel-nya, menegaskan betapa besarnya ketergantungan ekonomi Rusia pada sumber energinya, dimana minyak dan gas mencakup 70% dari total pendapatan ekspor nasionalnya.

Rusia kehilangan sekitar $2 Miliar pendapatannya setiap harga minyak turun satu dolar, dan World Bank telah memperingatkan bahwa ekonomi Rusia akan mulai menurun setidaknya sebesar 0.7% pada tahun 2015 jika harga minyak dunia tidak kunjung kembali. Meskipun demikian, Rusia telah mengkonfirmasi bahwa mereka tidak akan menurunkan produksi minyak mereka.

"Jika kami memotongnya, para negara importir akan menaikkan produksi mereka dan ini artinya kami akan kehilangan pasar niche kami," jelas Menteri Energi Alexander Novak.

Penurunan harga minyak, ditambah dengan sanksi dunia barat oleh karena dukungan Rusia terhadap para separatis di Ukraina timur telah memukul negara ini cukup telak. Pemerintah telah memangkas prediksi pertumbuhan ekonominya untuk tahun 2015, dan memperkirakan bahwa ekonomi akan merosot menuju ke arah resesi.

Mantan perdana menteri, Alexei Kudrin, menyatakan bahwa kejatuhan nilai mata uang Rusia bukan hanya sebagai bentuk reaksi atas kejatuhan harga minyak dan sanksi dunia barat saja, melainkan juga merupakan bentuk ketidakpercayaan public terhadap kebijakan ekonomi pemerintahnya. Melihat besarnya tekanan yang dihadapi Moscow sekarang, beberapa ekonom memperkirakan akan adanya desakan lebih jauh lagi untuk memperkuat nilai mata uang mereka.


Meskipun Presiden Putin tidak menggunakan kata-kata ‘krisis’, PM Dmitry Medvedev telah lebih terus terang mebeberkan masalah ekonomi Rusia. Dalam wawancara terbaru dengannya, menurutnya, Rusia belum pulih sepenuhnya dari krisis 2008. Ia juga menambahkan bahwa Rusia harus terus memangkas belanja pemerintah—Rusia harus membatalkan sejumlah program pembangunan--karena adanya efek ganda dari kejatuhan harga minyak dan sanksi dunia barat.

Kenaikan tingkat suku bunga bank Rusia juga dapat membawa masalah tersendiri, karena suku bunga bank yang tinggi dapat menekan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh semakin sulitnya bagi para pemilik bisnis untuk melakukan pinjaman bank dan membelanjakannya.

Venezuela: Tidak Ada Pemotongan Subsidi


Venezuela adalah salah satu eksportir minyak terbesar dunia. Namun, karena perekonomiannya yang ‘salah kelola’, negara ini mengalami kesulitan untuk maju bahkan sebelum terjadi kemerosotan harga minyak dunia.

Inflasi di negara ini terus melaju pada tingkat 60% dan perekonomiannya tertatih-tatih di ambang bahaya resesi. Kebijakan untuk memangkas belanja negara sudah dipastikan, namun pemerintah dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit.

Negara ini sudah memiliki harga bensin yang bisa dibilang termurah di dunia, dimana subsidi BBM memakan anggaran Negara sebesar $12,5 Miliar per tahun. Namun, Presiden Maduro telah mengesampingkan ide-ide untuk memotong subsidi BBM atau pun mendorong harga bensin menjadi lebih tinggi.

Ia mengungkapkan bahwa saatnya belum tepat untuk mengimplementasikan ide tersebut, dengan mengibaratkan tidak perlunya mereka untuk menambahkan minyak ke dalam kobaran api spekulasi pasar dan inflasi. Kehati-hatian tersebut dapat dimengerti, karena adanya sejarah kenaikan harga BBM pada tahun 1989 yang menyebabkan kekacauan dan membunuh ratusan penduduk sipil dalam prosesnya.


Arab Saudi: Harga vs Pangsa Pasar


Arab Saudi, selaku eksportir minyak terbesar di dunia dan member OPEC paling berpengaruh, bisa saja menopang dunia dari penurunan harga minyak dengan memangkas produksi minyaknya. Namun, sampai sekarang tidak ada sedikit pun tanda-tanda bahwa itu akan terjadi.

Terdapat dua alasan yang mungkin saja melatarbelakangi sikap Arab Saudi ini: mencoba untuk menanamkan sikap disiplin produksi antar sesama produsen minyak di dalam OPEC, dan mungkin saja juga untuk menekan industri minyak dan gas Amerika lebih jauh lagi.

Walau pun Arab Saudi memerlukan harga minyak untuk berada pada kisaran $85 dalam jangka panjang, mereka mempunyai cadangan dana sekitar $700 Miliar, sehingga mereka bisa bertahan dari rendahnya harga minyak untuk beberapa waktu ke depan.

"Dalam hal produksi dan proses pemberian harga minyak di kalangan para produsen Timur Tengah, mereka mulai menyadari tantangan dari melonjaknya produksi minyak Amerika," tutur Robin Mills, kepala konsultan Manaar Energy.

Jika periode harga murah ini harus memaksa beberapa produsen minyak berbiaya tinggi untuk menutup usahanya, maka Riyadh mungkin akan berharap untuk mengambil keuntungan dari besarnya pangsa pasar mereka untuk jangka panjang.

Namun, ada sekelumit sejarah di balik keengganan Riyadh memangkas produksi minyaknya. Pada era 1980-an, Arab Saudi melakukan pemotongan produksi minyak dengan harapan mengangkat harga minyak dunia, namun ternyata hanya berdampak kecil dan justru membuat perekonomian Arab Saudi terpukul.

OPEC: Tidak Semua Member Setara


Bersama dengan Arab Saudi, para produsen semenanjung Arab lainnya seperti UEA dan Kuwait juga mempunyai cadangan mata uang asing yang banyak, yang artinya bahwa mereka dapat bertahan dari kondisi keuangan yang defisit selama beberapa tahun, jika diperlukan.

Member OPEC lainnya seperti Iran, Irak, dan Nigeria tidak memiliki cukup ruang untuk bisa ‘berani’ seperti UEA atau Kuwait, karena tingkat permintaan domestik yang semakin besar disebabkan oleh besarnya populasi mereka yang relatif sebanding dengan pendapatan dari ekspor minyak mereka. Negara-negara ini mempunyai kurang dari $200 Miliar cadangan mata uang asing, dan juga sudah berada dalam tekanan persaingan dari Amerika.


Nigeria, yang merupakan produsen minyak terbesar di benua Afrika, telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang sayangnya masih sangat tergantung pada pendapatan dari ekspor minyaknya. Sekitar 80% sumber pendapatan dan juga sekitar 90% kegiatan ekspor Nigeria berasal dari minyaknya.

Perang di Syria dan Irak juga menunjukkan keterlibatan ISIS yang menguasai sumur-sumur minyak, dimana organisasi tersebut mendapatkan sekitar $3 Juta per hari melalui pasar gelap. Disinyalir bahwa mereka menjual hasil dari sumur minyak tersebut dengan harga diskon, yaitu sebesar $30-60 per barel.

Amerika Serikat: Fracking Boom


"Kenaikan produksi minyak di benua Amerika Utara, terutama di Amerika itu sendiri, cukup mengejutkan, " ujar Jason Bordoff dari Columbia University. Ia juga menambahkan bahwa tingkat produksi minyak Amerika kali ini adalah yang tertinggi sepanjang 30 tahun terakhir ini, tempo hari pada acara World Business Report di saluran BBC World.

Kenaikan produksi minyak Amerika inilah yang menjadi salah satu penyebab utama penurunan harga minyak dunia, yaitu dari hasil penggalian formasi Shale yang memproduksi gas dan minyak.

"(Hasil pengeboran minyak) shale ini pada dasarnya telah berhasil memutus hubungan erat antara gejolak geopolotik di Timur Tengah dan harga minyak dunia," jelas Seth Kleinman, kepala energi stratejik dari Citi.


Walaupun banyak produsen minyak Amerika yang menggunakan metode formasi shale memiliki biaya operasional yang terlampau tinggi dibandingkan para rival pengeboran minyak konvensional, banyak di antaranya harus tetap beroperasi untuk tetap mendapatkan pemasukan demi membayar hutang-hutang dan biaya lain-lain.

Eropa dan Asia: Keuntungan dan Risiko Yang Bercampur Aduk


Dengan perekonomian Eropa yang mempunyai karakterisasi inflasi yang rendah dan pertumbuhan yang lemah, keuntungan apapun yang ditawarkan oleh penurunan harga minyak dunia ini akan disambut dengan gembira oleh negara-negara di dalamnya.

Sebesar 10% penurunan harga minyak akan berdampak pada kenaikan output perekonomian mereka sebesar 0.1%. Pada umumnya, para konsumen minyak akan diuntungkan dengan rendahnya harga minyak, namun pada akhirnya kelak harga rendah tersebut akan mengikis ulang kondisi ini yang menurut mereka bagus.

China, yang merupakan salah satu pengimpor minyak terbesar di dunia, termasuk salah satu negara yang harusnya diuntungkan karena kondisi sekarang ini. Namun, penurunan harga minyak ini tidak akan mampu sepenuhnya melawan perlambatan ekonomi yang dialami negara tirai bambu ini.

Jepang sendiri mengimpor semua minyak bumi yang mereka gunakan selama ini, maka seharusnya ini membawa dampak positif bagi mereka. Namun, rendahnya harga minyak bumi saat ini membawa dampak negatif bagi Jepang yang memerlukan harga energy supaya tetap tinggi untuk membantu mereka menuju kondisi inflasi seperti yang menjadi target kebijakan ekonomi PM Shinzo Abe untuk melawan deflasi.

India mengimpor 75% konsumsi minyaknya, dan para analis memperkirakan bahwa kejatuhan harga minyak dunia akan membawa angin segar bagi neraca perdagangannya yang selama ini defisit. Hal itu disebabkan karena biaya subsidi BBM di India bisa turun sebesar $2,5 Miliar untuk tahun ini this year, dengan catatan jika harga minyak akan tetap selemah ini.


Nah, bagaimana menurut kalian? Keuntungan apa yang bisa kalian sendiri dapatkan dengan kondisi ini?

(sumber: http://www.bbc.com/news/business-29643612)

No comments:

Post a Comment